Between S-R

“Between stimulus and response, there is a space. In that space is our power to choose our response. In our response lies our growth and our freedom” – Victor Frankl

Akhir-akhir ini ada banyak hal yang kupikirkan (yaa karena anda hobinya memang overanalyzing dan overthinking). Awalnya ingin kutuliskan secara panjang lebar untuk mengurai secara lebih jelas apa yang sedang kupikirkan, tapi sepertinya lebih baik kutuliskan pendek saja, sebagai pengingat kalau aku sudah pernah memikirkannya. Terlebih dahulu, aku akan memberitahukan bahwa ujung dari hal-hal yang kupikirkan akhir-akhir ini adalah bahwa manusia mempunyai kebebasan, yaitu antara stimulus dan respon. Pada ruang bebas antara stimulus dan respon, manusia mempunyai kebebasan dalam berpikir dan menerjemahkan segala sesuatu yang menjadi stimulus, untuk kemudian menentukan respon seperti apa yang sesuai. Di dalam setiap ritual overanalyzing dan overthinkingku, ada satu hal yang aku yakini bahwa Allah memberikan akal bagi manusia sebagai sebuah kebebasan untuk mengenali dan menerjemahkan segala sesuatu yang ada di alam semesta, untuk mengenali tanda-tanda kebesaran-Nya dan menjalani proses belajar seumur hidup atas apa yang Allah ingin ajarkan pada setiap umat-Nya. Jadi, memang setiap manusia mempunyai naluri untuk berpikir, dan hal itu menjadi alasan bagiku tetap waras dengan keriuhan isi kepala.

Hal pertama yang kupikirkan akhir-akhir ini adalah menyakiti orang lain kadang terjadi begitu saja tanpa kita berniat untuk melakukannya. Tapi aku sebagai si manusia naif meyakini bahwa ketulusan akan selalu menemukan jalannya untuk tidak meyakiti dan menyembuhkan.

Di suatu perjalanan dengan hujan rintik dan cahaya matahari sore yang malu-malu, aku mendengarkan orang lain saling menceritakan ingatannya perihal orang yang sudah meninggal. Di antara suara-suara yang kudengar, aku jadi memikirkan tentang diriku sendiri. Jika nanti aku meninggal, kira-kira akan bagaimana ya orang lain mengenangku lewat cerita-cerita yang mereka tuturkan. Setelah bapakku meninggal 2 tahun lalu, aku semakin kepikiran kalau ingatan pada manusia yang masih hidup perlahan akan pudar, bahkan aku jadi berusaha sekuat tenaga untuk tidak kehilangan ingatan bagaimana wajah bapakku.

Tidak ada keluarga yang sempurna, yang ada hanya keluarga yang berusaha bertumbuh dan saling melengkapi. Semakin aku melihat ke dalam dinamika relasi setiap keluarga, ada banyak hal yang perlu disikapi dengan bijaksana, terutama ketika sudah menjadi manusia dewasa (tentu saja secara usia). Tidak ada pakem yang benar-benar bisa mengatur pola-pola relasi dinamis yang tercipta dari adanya interaksi setiap anggota keluarga, sehingga yang diperlukan adalah kemampuan mengolah rasa dari masing-masing anggota keluarga dan kebijaksanaan dalam menyikapi, terutama ketika dihadapkan pada hal-hal kurang menyenangkan atau bertentangan dengan perspektif pribadi. Dan kurasa hal mendasar yang perlu ada dimiliki oleh setiap anggota keluarga adalah kemampuan untuk agree to disagree. Seberapapun usaha untuk abai dengan hal-hal terkait keluarga, selalu saja gagal (atau mungkin hanya terjadi pada kaum-kaum overanalyzing dan overthinking).

Setiap orang mempunyai ujiannya masing-masing. Ibarat medan perang, maka setiap orang mempunyai medan perang yang berbeda. Di suatu momen ketika pikiranku mulai tenggelam dan menggila, aku mencoba meyakini bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya dan apapun yang terjadi adalah memang sesuatu yang harus terjadi sebagai bagian dari kurikulum Allah dalam mengajarkan sesuatu kepada hamba-Nya. Begitupun ketika suatu hal terjadi pada orang lain dengan segala dinamika stimulus dan respon yang muncul, aku jadi berusaha untuk tidak serta merta menghakimi karena kembali lagi setiap orang mempunyai ujiannya masing-masing.

Kurasa perjalananku mengolah rasa, meregulasi emosi dan menjadi dewasa adalah seumur hidup. Aku melakukan flashback terhadap diriku sejauh yang bisa kuingat. Untuk berada di fase aku yang sekarang, kurasa aku bisa percaya diri mengatakan kalau akupun belajar dan bertumbuh. Tidak mudah bagiku untuk menjadi versi diriku yang sekarang, jika mengingat aku dulunya adalah anak kecil yang high-tempered dan menyimpan banyak pertanyaan “mengapa” untuk segala sesuatu (atau mungkin aku HSP?).

Hmmmm sepertinya begitu saja, kupikir aku akan menuliskannya lagi menyesuaikan dengan mood supaya pikiranku bisa menemukan damai.

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑