Rumination

Beberapa hari yang lalu, aku menyadari beberapa hal dari satu kejadian yang sebenarnya tidak perlu pusing-pusing kupikirkan. Tapi karena sudah terlanjur berputar-putar di otak, aku akan menuliskannya saja:


1. Oh, aku tidak pernah sembuh. Ketika menghadapi suatu hal yang serupa, aku akan selalu merefleksikannya sebagai pengalamanku sendiri. Dan selalu saja, ketika menceritakannya kepada orang aku harus berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Haft. Susah ya ternyata untuk tidak reaktif ketika mempunyai luka.
2. Ketika kamu melukai anak kecil, jangan pernah meninggalkannya sendiri. Kamu harus kembali, untuk meminta maaf, untuk memastikan dia tidak merasa ditinggalkan, untuk memastikan dia tidak terluka seorang diri.
3. Aku jadi tahu alasanku tidak suka bercerita soal kesedihanku ketika masih merasakannya atau ketika bersedih dan berada di dekat orang lain. Karena aku tahu akan menangis kalau ada orang lain, atau ada yang menepuk-nepuk bahuku. Dan sepertinya, jadi merasa aneh ketika ada orang lain melihat pertahanan diriku runtuh seperti istana pasir .
Jadi begini, ketika kamu bersedih dan ada orang yang menepuk-nepuk bahumu atau memelukmu, efeknya seperti perintah “silahkan menangis”.
4. Aku tidak suka melewati batas, tapi ternyata pikiran dan perasaanku hobi melewati batas. Inginku hidup damai, tidak peduli. Tapi kira-kira kalau aku mengetahui suatu hal yang skenario terburuknya bisa menghancurkan hidup orang lain, mana mungkin aku tidak peduli, tapi bukan urusanku juga untuk masuk dan melakukan intervensi. Atau lebih tepatnya, aku tidak suka menghadapi keributan setelah melewati batas.

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑