Aku Melakukan Ini Untukmu

“Madame Rosa took you in when you were very little, she doesn’t keep a birth register. She has seen a great many children come and go since then, my little Mohammed….. Perhaps your father was killed in the Algerian War. A fine thing, a splendid thing! A hero of independence!”

“Monsieur Hamil, I’d rather have a father than not have a hero. Why couldn’t he just have been a good pimp and taken care of my mother?”

Sebuah potongan percakapan dari buku Momo (The Life Before Us) karya Emile Ajar (pseudonym dari Romain Gary). Buku yang dibaca dari 3 tahun yang lalu, tapi tidak kunjung diselesaikan (sekarang sedang berusaha diselesaikan) karena alasan-alasan yang hanya alasan. Mungkin nanti ketika bukunya sudah selesai dibaca akan kuulas jika tidak malas.

Pertama kali membaca potongan percakapan di atas, pikiranku yang sungguh liar dan senang menghubungkan dot-dot yang tidak berhubungan jadi bekerja sangat giat. Tiba-tiba saja aku jadi teringat banyak hal yang terjadi di masa lalu (sempat-sempatnya kepikiran, padahal waktu kepikiran sedang mengepel rumah, memang dasar pikirannya sudah kacau sejak dini). Jadi aku teringat kalimat yang paling aku benci dan selalu diucapkan kedua orang tuaku, Aku melakukan ini untukmu. Sebuah kalimat singkat tanpa penjelasan, tanpa kalimat pembuka, setidaknya bertanya apa yang aku butuhkan atau apa yang aku inginkan. Sayangnya kalimat itu menjadi sebuah kebiasaan dan gaungnya bertahan lama di pikiranku, dan membentuk sebuah pemikiran dan prinsip bagi diriku, ketika melakukan sesuatu untuk orang lain, setidaknya aku harus mempertimbangkan perspektif mereka terlebih dahulu.

Kembali ke potongan percakapan, setidaknya ada dua kerandoman masa kecil yang bisa kuingat. Kedua momen random ini disponsori oleh kedua orang tuaku yang terkadang melakukan sesuatu untuk orang lain akan tetapi jadi mengorbankan sesuatu (anehnya aku juga merasa ikut berkorban) dan tentu saja didasarkan oleh semangat Aku melakukan ini untukmu (yang mana sampai sekarang aku tidak memahami poin ini). Kerandoman pertama, terjadi ketika aku SMP, waktu itu pukul 02.00 dini hari, tiba-tiba saja ada orang asing yang mengetuk pintu rumah dan meminta izin untuk numpang tinggal di rumah selama 3 bulan. Apa yang dilakukan bapak waktu itu? Tentu saja memperbolehkan orang asing itu numpang tinggal di rumah. Dan apa yang kulakukan waktu itu? Protes. Lalu apa jawaban bapak waktu itu? Tentu saja, Aku melakukan ini untukmu, tapi ada penjelasannya, bapak bilang kalau suatu saat nanti aku di tempat asing dan membutuhkan bantuan maka kebaikan bapak waktu itu akan jadi penolongku. Karena bagi orangtuaku, bapak utamanya, bahwa kebaikan kita kepada orang lain akan kembali dalam bentuk kebaikan dari orang lain yang berbeda. Jadi, apa yang saya lakukan waktu itu? Tentu saja, bersabar dan menahan diri, supaya kalimat Aku melakukan ini untukmu tidak keluar lagi.

Kerandoman kedua, waktu itu sepertinya aku masih SD atau SMP kelas satu, hampir setiap hari sepulang sekolah atau di hari libur aku harus mengasuh anak tetangga, mulai dari menyuapi, memandikan, menidurkan atau menyeboki si bocah. Apakah mengasuh anak tetangga ini dibayar? Tentu saja tidak, itu kulakukan sebagai charity, tapi terpaksa karena lagi-lagi ada kalimat Aku melakukan ini untukmu, dan lagi-lagi ku hanya bisa menerima dengan (tidak) sabar. Kenapa kerandoman ini bisa masuk di Aku melakukan ini untukmu? Karena si bocah ini oleh neneknya dititipkan ke ibu, akan tetapi karena ibu repot dengan urusan yang katanya demi tag line Aku melakukan ini untukmu jadi tugas tersebut dialihkan ke diriku (yang tidak berdaya menolak), dan karena tentu saja ibu tidak mungkin menolak permintaan tolong tetangga. Jadi, entah untuk berapa lama, aku menjadi pengasuh anak tetangga (tanpa tahu kenapa itu semua harus kulakukan demi semangat Aku melakukan ini untukmu). Apa mungkin ibu ingin aku belajar memetik hikmah? Misalnya hikmah mengasuh anak tetangga membuatku tersadar kalau kesabaranku menghadapi anak kecil hanya setipis tisu.

Setelah dewasa ini aku menyadari, mengatakan Aku melakukan ini untukmu kepada orang lain adalah suatu hal yang tidak bermakna, terutama ketika diucapkan ke anak kecil. Terkadang, apa yang dibutuhkan oleh anak kecil bukan angan-angan yang masih abstrak, atau konsep-konsep masa depan yang entah akan terjadi apa tidak, yang dibutuhkan oleh anak kecil hanyalah apa yang ada di depan mata, orang tua, dengan segala kebutuhan dan keinginannya yang ada saat itu. Dan ada hal-hal yang tidak pernah bisa tergantikan di masa depan, yaitu waktu.

10 thoughts on “Aku Melakukan Ini Untukmu

Add yours

  1. Tapi kenapa ya orang tua suka sekali pertumpu pada konsep kebaikan yang dibalas kebaikan. Antara percaya gak percaya sih. Menurutku sendiri konsep itu terlalu naif kalau diterapkan di era ini. Melakukan kebaikan karena mau dan ikhlas aja, gak mengharapkan apapun

    Like

    1. Mmmmm mungkin ada hubungannya dengan mempercayai konsep karma. Aku mempercayai konsep kebaikan dibalas kebaikan, tapi bukan berarti mengharapkan kebaikan dari orang lain karena memang jadi terkesan naif dan sama dengan menyemai benih kekecewaan. Kadang balasan kebaikan itu datang dari sendiri, dari perasaan bahagia dan damai ketika melakukannya

      Like

      1. IKR. Lebih ke kesenangan batin dan keikhlasan, yang mana akan bikin lebih damai karena jatuhnya tidak ada ekspektasi. Tidak semua manusia juga cukup tahu diri untuk membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan. Kadang ada yang sudah memberi, malah ‘menggigit tangan’ si pemberi.

        Anyway, nice story.

        Liked by 1 person

      2. Setelah melakukan kebaikan jadi merasa perlu mencukupkan dengan perasaan ikhas dan kesenangan batin, karena berharap pada manusia hanya akan merusak kesenangan batin yang diperoleh dari kebaikan itu sendiri.

        Terima kasih, terima kasih juga sudah berbagi di tulisan ini

        Liked by 1 person

  2. aku seperti melihat diri sendiri dalam sosok mba noona di masa lalu itu:”) mungkin beberapa tahun lalu aku juga belum banyak berubah seperti sekarang, selalu menurut apapun yg orang tua katakan “demi kebaikan”, entah apa itu benar kebaikan untuk diriku atau kebaikan untuk mereka.

    aku juga punya cerita random yg sepertinya agak relate dengan tulisan mba noona. waktu aku lulus SD dan mau masuk SMP, aku diminta orang tua untuk bersekolah di tempat pilihan mereka meski nilaiku mencukupi untuk sekolah di tempat yg lebih baik, hanya karena “enak sekolahnya deket” dan “kamu kan sering sakit jadi sekolahnya yg deket aja”. setelah makin dewasa dan makin sadar bahwa tidak seharusnya aku menuruti begitu aja tanpa perlawanan, aku sempat ada kemarahan. mungkin baru di tahun 2022 akhirnya aku mulai bisa pelan2 berdamai dengan banyak hal, salah satunya hal yg aku ceritakan tadi..

    Like

    1. Hai rain, terima kasih sudah berbagi di tulisan ini 😊

      Setiap kita mungkin akan memiliki pengalaman merasa bertentangan dengan pilihan orang tua dgn label “demi kebaikan” kita, terlebih kalau orang tua membiarkannya tanpa penjelasan yang sesuai untuk usia kita bisa memahaminya waktu itu. Bagiku sendiri aku lebih merasa terganggu dan jadi traumatis dengan kata “Aku melakukan ini untukmu” mendengarkan kalimat itu dari orang tua membuatku sebagai anak merasa begitu tidak tahu diri dan tidak memahami usaha orang tua, tapi di sisi lain akupun ingin didengarkan dan dipahami dan entah kenapa ketika memiliki keinginan itu membuatku merasa bersalah. Meskipun begitu, untuk perkara yang aku tahu aku harus menjalaninya dalam waktu tertentu, atau aku tahu aku tidak mampu menjalaninya, aku akan cukup vokal dan argumentatif dalam menyuarakan pendapatku. Meskipun untuk beberapa kasus seperti kerandoman yang kutuliskan aku akan menerima begitu saja.

      Dan benar sekali, menerima dan menjalani keputusan orang lain begitu saja, seringkali menjadi gunung es tanpa kita sadari, yang akan muncul menjadi perilaku yg maladaptif ketika akhirnya kita tidak mampu menahannya lagi karena adanya trigger.

      Selamat rain, karena sudah berproses untuk berdamai, setidaknya dengan berdamai atas apa yang terjadi di masa lalu, atas keputusan² yang tidak kita inginkan akan membuat beban dalam diri kita berkurang untuk menjalani masa sekarang, dan setidaknya kita juga memberi kesempatan pada diri untuk menjalani masa sekarang dengen “kebebasan” dari masa lalu. Semoga di masa depan tidak ada hal-hal yang kemudian mengusik dan membuat kita menyalahkan atas pilihan yang tidak bisa kita perjuangkan di masa lalu 😊

      Liked by 1 person

      1. terima kasih mba tanggapannya 🙂 aku rasa mba noona juga sudah di fase “menuju kebebasan” seperti aku. atau mungkin lebih baik daripada yg sudah aku capai. aku yakin ga mudah bagi mba noona untuk berbagi tulisan mengenai hal ini. meski tahu ada hal- hal tertentu yg keliru, sulit bagi kita untuk merasa sepenuhnya benar apabila ada kaitannya dengan orangtua. seperti yg mba noona bilang, ada perasaan bersalah dan ingin dimengerti oleh mereka.

        kurasa dalam hal ini yg terpenting adalah kesadaran diri kita sendiri. ketika sudah sadar akan lebih mudah untuk berdamai dan terbebas dari luka atau penyesalan di masa lalu 🙂

        Like

      2. Mmmmm sesungguhnya aku sendiri masih di fase berproses menemukan “kebebasan” ada kalanya aku sudah merasa terbebas, namun di lain wkatu ketika dihadapkan pada sebuah kejadian baru yg triggering aku masih reaktif.
        Kurasa pada akhirnya salah-benar antara hubungan dan perspektif orang tua-anak akan kembali pada cara masing² pihak menyikapinya, karena seiring berjalannya waktu akupun menyadari ada banyak perbedaan yg memang tidak bisa disejalankan, dan menuntut kebijaksanaan dalam menghadapi

        Benar dan dari kesadaran yang muncul kita juga akan secara sadar berusaha membebaskan diri, jadi bisa melihat di bagian mana sebenernya kita terikat oleh masa lalu

        Liked by 1 person

      3. ahh begitu ya:”) karena mba noona yg aku lihat (dari tulisan dan cara mba noona menjawab komentarku) mba lebih tenang dan dewasa daripada aku:”) aku masih sering banget seperti pop corn mba, kena panas meletup-letup haha.

        semangat selalu kita ya mba noona 🙂 semoga jalan mencari kebebasan dari segala belenggu selalu terbentang untuk kita yg sedang belajar…😇

        Liked by 1 person

      4. Hahaha terima kasih rain, kuanggap itu pujian meskipun aku juga tidak yakin aku orang yg demikian 😊

        Mungkin dibanding pop corn yang terkena panas meletup-letup, aku lebih seperti bom waktu, sangat hening tenang tapi bisa meledak ketika suatu hal yang di luar kemampuanku untuk menoleransi dan menahan terjadi. Dan kurasa itu lebih jadi karakterku yang memang sedari kecil adalah anak yang diam dan tenang tapi sekali bersuara bisa berbahaya.

        Setiap orang yang menyadari dan mengenali dirinya pasti akan berproses rain, jadi tidak apa-apa kalau sekarang masih jadi pop corn, karena meskipun aku seorang yang tenang untuk saat ini, aku versi lebih muda juga lebih sarkastik dan kurang peduli dengan orang lain, jadi selamat berproses rain 😊

        Liked by 1 person

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑